ADA YANG DATANG DAN ADA YANG PERGI
10.28.00 | Author: LANO

Malam Minggu yang sepi, seperti malam2 yang len, sembari beristirahat menonton film kesukaan ku, aku mendengar handphone yang tergeletak di samping ku berbunyi. Sms dari seorang kuliahku. Dia memberitahukan rencana untuk jalan2 malam tahun baru nanti. Aku tersenyum saja membaca sms dia. Namun, kata-kata di ujung smsnya membuat dahiku berkerut. Ah, pertanyaan itu lagi, batin saya. Tahun 2009 sudah dekat lho, sudah dapat calonnya belum?, begitulah bunyi kata-kata penutup smsnya. Pertanyaan yang amat sering kudapat. Sudah amat sering aku mendapat pertanyaan seperti itu. Ah... Entahlah, aku lupa untuk menghitungnya. Akhirnya, aku hanya menjawab ”doanya aja yah biar aku bisa mempersiapkan semuanya yah”. Jawaban yang diplomatis bagiku. Memang tidak utuh menjawab pertanyaannya, tapi cukup lega bagi.

Berbicara tentang pertanyaan “kapan menikah?” atau “kapan married?”, entah sudah berapa kali pertanyaan itu ditujukan untukku. Dari teman kuliah, dari teman kantor ataupun dari saudara-saudara. Biasanya jawaban “tunggu aja undangannya” atau hanya sekedar senyum cukup mampu untuk menjawab pertanyaan itu. Itu kalau hati sedang menganggap pertanyaan itu sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang. Tapi, kalau hati ku lagi serius merespon pertanyaan itu, saya kembali akan bertanya “tolong cariin donk!”. Aha, biasanya jawaban ini cukup handal untuk membuat si penanya tidak meneruskan pertanyaannya. Tapi, kalau si penanya kembali bertanya “serius nih permintaannya?” , tinggal aku keluarkan jurus pamungkas. Tersenyum dan menjawab “nantilah deh”. Itu kalau orang lain yang bertanya. Tapi kalau teman-teman dekat yang bertanya, biasanya pembicaraan tentang “kapan menikah?” atau “kapan married” tidak akan berhenti sampai di situ.

Ada sederetan pertanyaan ”mengapa” yang akan mengiringi sebagai bentuk pertanyaan selanjutnya. Dan akhirnya, ada rentetan panjang yang mengharuskanku menjelaskan lebih detail tentang arti pernyataan ku. Yah... Begitulah....

Ditinggalkan oleh teman-teman yang duluan “melambaikan janur kuning di rumahnya” memang meninggalkan berbagai jenis perasaan di hati. Gembira. Senang. Atau juga sedih. Bulan penghujung tahun 2008 ini, sudah tiga kali aku mendapat undangan walimahan pernikahan teman-teman kuliah. Dari ketiganya, hanya pernikahan satu orang teman yang cukup membuat ku agak sedih. Ada juga perasaan kehilangan. Perasaan yang sama yang aku rasakan ketika aku masih berseragam putih biru dan putih abu-abu.

Kehilangan teman-teman main aku. Waktu, jarak dan perbedaanlah yang menyebabkannya kala itu. Sedangkan dua yang lain, bagiku, sama saja, apakah aku diundang atau tidak. Insya Allah aku turut bergembira dengan pernikahan keduanya. Kedua-duanya adalah teman say hello ketika kuliah dulu. Kami kuliah di fakultas yang sama. Beda dengan yang ketiga. Dia adalah teman jalan-jalan kalau libur kantor tiba. Dari pagi sampai sore, bahkan. Dengan mengendarai motornya, tentunya. Berdua kemana aja. Pengajian minggu pagi menjelang siang. Makan siang di tempat favorit. Atau hanya sekedar ngobrol di kosnya. Aku dan dia memang berada di kota yang sama. Hanya beda kantor. Bahkan, terkadang, perpisahan antara kami baru di akhiri setelah makan malam usai, menjelang Isya. Ah, begitu banyak kenangan bersamanya, yang tentunya tidak akan dapat kami lakukan lagi berdua setelah dia menikah. Namun, ada juga perasaan gembira yang menyelip. Bercampur aduk dengan sedih dan kehilangan.

Dia mampu menunaikan janjinya pada dirinya sendiri. Menikah di tahun ini. Itulah yang aku salut dengan dia. Ah, aku jadi teringat dengan pernikahan ketiga mbak kosku ketika aku masih kuliah di Yogya. Ketiganya menikah hampir berdekatan waktunya. Biasanya ketiganya adalah tempat aku dan adik-adik kos yang lain curhat. Tentang segala sesuatu yang membuat kami membutuhkan perhatian dan bimbingan seorang kakak. Dengan usia yang cukup jauh berada di atas usia kami saat itu, ketiganya mampu menjelma menjadi sosok yang lebih dewasa. Itu dulu, kala ketiganya belum menikah. Tapi, setelah ketiganya menikah, ada waktu yang berkurang untuk aku dan adik-adik kos yang lain. Memang, ketiganya masih tetap care kepada kami. Masih tetap menasehati kami, layaknya seorang kakak kepada adiknya. Tapi, kami tidak bisa lagi memiliki ketiganya dengan seutuhnya. Ada yang lain, bagi ketiganya. Belahan jiwanya. Masnya. Suaminya. Begitulah. Satu hal yang sangat berimbas padaku. Aku harus menjadi senior, bersikap lebih dewasa, dan rela menjadi tempat curhat adik-adik kosku.

Biasanya, hal itu diemban oleh ketiga mbak kosku. Tapi, yah sudahlah, waktu kehidupan bagi setiap orang memang berbeda. Mungkin, memang saat itu, adalah saatnya bagiku untuk bersikap mengemong. Menjadi kakak bagi adik-adik kosku. Begitulah hidup. Melewati segala proses yang sunatullah. Telah ditentukan oleh Sang Pengatur Kehidupan. Sang Pemilik Jiwa kita. Dengan proses yang berpasang-pasangan, tentunya. Layaknya dua sisi mata uang. Ada sisi muka dan ada sisi belakang. Hidup pun demikian adanya. Ada kelahiran dan ada kematian. Ada anak-anak dan ada orangtua. Ada tua dan ada muda. Ada kecil dan ada besar. Ada kaya dan ada miskin. Ada suka dan ada duka. Ada kegembiraan dan ada kesedihan. Ada pertemuan dan ada perpisahan. Ada yang datang dan ada yang pergi.

Begitu banyak yang telah pergi dari kehidupanku. Teman, terutamanya. Teman ketika aku masih seorang bocah kecil, teman ketika aku masih berseragam putih merah, teman saat aku masih mengenakan seragam putih biru, teman saat masa-masa berseragam putih abu-abu adalah saat-saat terindah, teman saat-saat aku menyandang status seorang mahasiswa, atau bahkan saat ini. Bukan, bukan karena aku membiarkan mereka pergi dari kehidupanku.

Waktulah yang berkuasa atas segalanya. Saat kehidupan setiap orang berbeda. Saat kita tidak pernah bisa memaksakan setiap waktu kehidupan kita. Saat kita tidak pernah bisa memaksakan kehendak untuk melewati proses kehidupan yang sama. Namun, tetap ada yang tertinggal. Memori, Kenangan. Begitu lekat berada di alam pikir.

Yang pergi digantikan oleh yang datang. Begitu banyak juga yang datang kepadaku. Teman, tentunya. Menggantikan yang pergi. Menyapaku, Mengisi canda dan tawa hari-hariku. Mengisi senyum kehidupan ku saat ini. Membelai duka karena kehilangan. Begitu indah!

Ah, aku memang harus mencoba berdamai dengan takdirku. Pada kehidupanku saat ini. Saat aku kehilangan, Saat dipisahkan, Saat dipertemukan, Saat senang menghampiri, Saat duka menyapa, Apapun itu, Bukankah berdamai dengan takdir akan membuat hati dan pikiran ini menjadi seluas samudera!!!!! 

MANGKOK TANPA ALAS
10.18.00 | Author: LANO
Seorang raja bersama pengiringnya keluar dari istananya untuk menikmati udara pagi. Di keramaian, ia berpapasan dengan seorang pengemis.

Sang raja menyapa pengemis ini, "Apa yang engkau inginkan dariku?" Si pengemis itu tersenyum dan berkata, "Tuanku bertanya, seakan-akan tuanku dapat memenuhi permintaan hamba."

Sang raja terkejut, ia merasa tertantang, "Tentu saja aku dapat memenuhi permintaanmu. Apa yang engkau minta, katakanlah!"

Maka menjawablah sang pengemis,"Berpikirlah dua kali, wahai tuanku, sebelum tuanku menjanjikan apa-apa."

Rupanya sang pengemis bukanlah sembarang pengemis.

Namun raja tidak merasakan hal itu. Timbul rasa angkuh dan tak senang pada diri raja, karena mendapat nasihat dari seorang pengemis. "Sudah aku katakan, aku dapat memenuhi permintaanmu. Apapun juga! Aku adalah raja yang paling berkuasa dan kaya-raya."

Dengan penuh kepolosan dan kesederhanaan si pengemis itu mengangsurkan mangkuk penadah sedekah,"Tuanku dapat mengisi penuh mangkuk ini dengan apa yang tuanku inginkan."

Bukan main! Raja menjadi geram mendengar 'tantangan' pengemis di hadapannya. Segera ia memerintahkan bendahara kerajaan yang ikut dengannya untuk mengisi penuh mangkuk pengemis kurang ajar ini dengan emas!

Kemudian bendahara menuangkan emas dari pundi-pundi besar yang di bawanya ke dalam mangkuk sedekah sang pengemis. Anehnya, emas dalam pundi-pundi besar itu tidak dapat mengisi penuh mangkuk sedekah.

Tak mau kehilangan muka di hadapan rakyatnya, sang raja terus memerintahkan bendahara mengisi mangkuk itu. Tetapi mangkuk itu tetap kosong. Bahkan seluruh perbendaharaan kerajaan: emas, intan berlian, ratna mutumanikam telah habis dilahap mangkuk sedekah itu. Mangkuk itu seolah tanpa dasar, berlubang.

Dengan perasaan tak menentu, sang raja jatuh bersimpuh di kaki si pengemis, ternyata dia bukan pengemis biasa, terbata-bata ia bertanya, "Sebelum berlalu dari tempat ini, dapatkah tuan menjelaskan terbuat dari apakah mangkuk sedekah ini?"

Pengemis itu menjawab sambil tersenyum, "Mangkuk itu terbuat dari keinginan manusia yang tanpa batas. Itulah yang mendorong manusia senantiasa bergelut dalam hidupnya". Ada kegembiraan, gairah memuncak di hati, pengalaman yang mengasyikkan kala engkau menginginkan sesuatu. Ketika akhirnya engkau telah mendapatkan keinginan itu, semua yang telah kau dapatkan itu, seolah tidak ada lagi artinya bagimu.

Semuanya hilang ibarat emas intan berlian yang masuk dalam mangkuk yang tak beralas itu. Kegembiraan, gairah, dan pengalaman yang mengasyikkan itu hanya tatkala dalam proses untuk mendapatkan keinginan..

Begitu saja seterusnya, selalu kemudian datang keinginan baru. Orang tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa kekurangan."
Raja itu bertanya lagi, "Adakah cara untuk dapat menutup alas mangkuk itu?"

"Tentu ada, yaitu rasa syukur kepada Tuhan. Jika engkau pandai bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat padamu," Ucap sang pengemis itu, sambil ia berjalan kemudian menghilang.

LUKISAN KEDAMAIAN
10.04.00 | Author: LANO
Seorang Raja mengadakan sayembara dan akan memberi hadiah yang melimpah kepada siapa saja yang bisa melukis tentang kedamaian. Ada banyak seniman dan pelukis berusaha keras untuk memenangkan Lomba tersebut.
Sang Raja berkeliling melihat-lihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang benar-benar paling disukainya. Tapi,sang Raja harus memilih satu di antara keduanya.

Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaga itu bagaikan cermin sempurna yang memantulkan kedamaian, gunung-gunung yang menjulang mengitarinya. Di atasnya terpampang langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah lukisan terbaik mengenai kedamaian.

Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kasar dan gundul. Di atasnya terlukis langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai. Sedangkan tampak kilat menyambar-nyambar liar. Di sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih. Sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan kedamaian. Tapi, sang Raja melihat sesuatu yang menarik. Di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil di atas sela-sela batu. Di dalam semak-semak itu seekor induk Pipit meletakkan sarangnya. Jadi, di tengah-tengah riuh-rendahnya air terjun, seekor induk Pipit sedang mengerami telurnya dengan damai. Benar-benar damai.

Lukisan manakah yang memenangkan lomba?

Sang Raja memilih lukisan nomor dua.

Tahukah anda mengapa?

"Karena", jawab sang Raja, "kedamaian bukan berarti anda harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan atau pekerjaan yang keras dan sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan damai, meski anda berada di tengah-tengah keributan luar biasa. Kedamaian hati adalah kedamaian sejati"

"Ya kedamaian datang dari diri kita sendiri, dimanapun kita berada, jika hati kita tenang, tenteram, bersih dari rasa iri, dengki dan prasangka.... Maka kita akan selalu merasakan kedamaian, ketentraman, dan kenikmatan hidup"

"Bersihkanlaha hatimu dengan menerima dan bersyukur akan segala nikmat yang telah diberkan oleh Allah S.W.T"

Semoga Negeri kita Indonesia selalu dijadikan Negeri yang Damai.... Amin..